Jumat, 12 Maret 2010

Babad Ponorogo

Pada zaman dahulu di daerah jawa timur bagian selatan ,tepatnya didaerah ponorogo(dulu belum diberi nama) tinggalah seorang yang sakti mandra guna dengan nama Ki Surya Alam , dia memiliki serang anak perempuan bernama Niken Gandini,dan diapun juga memiliki sebuah padepokan dengan nama padepokan Suru kubeng.


didalam kehidupannya dia ini dikenal sebagai orang yang baik,dia memiliki dua senjata pamungkas yaitu sebilah keris yang di beri nama Condhong Rawe dan sebilah tombak dengan nama Jabardas yang dijadikannya sebagai sumber utama kekuatannya .Pada saat itu pula raja dari kerajaan majapahit yang bernama Brawijaya memerrintahkan anaknya yang bernama Bathoro Katong untuk menyebarkan agama islam yang dulunya masih beragama Hindu di bagian selatan.Beberepa saat kemudian pengikut dari Bathoro katong semakin banyak ,namun pada saat itu ki surya alam menolak ajakan Bathoro katong untuk masuk islam karena teguh dalam menganut agama hindu,dan akhirnya karena perbedaan pendapat tersebut mereka mulai saling bermusuhan,tapi sebelum permusuhan semakin berlanjut ,Bathoro katong berpura pura menyerah kepada Surya alam dan itupun berhasil ,Surya alam tak merasa curuiga sedikitpun.

setelah lama tinggal bersama dengan Surya alam, bathoro katong telah mengetahui apa kelemahan dari Surya alam yaitu sebilah keris yang dimilikinya,karena Bathoro katong telah lama tinggal dengan Surya alam ,benih benih cinta mulai tumbuh pada NIken gandini ,dan akhirnya mereka berdua menikah ,setelah pesta pernikahan selesai ,ditengah malam Bathoro katong menyuruh niken untuk mengambil keris yang dimiliki oleh ayahnya tersebut

Beberapa saat setelah Niken mengambil keris yang dimilki oleh ayahnya tersebut ,bathoro katong mengatur siasat untuk melakukan penyerangan kepada padepokan suru kubeng.Disaat tengah malam menjelang , pasukan Bathoro katong datang menyerang,dan akhirnya banyak dari pasukan/pegikut Surya alam yang tewas , setelah terpojok Surya Alam memilih kabur menuju kearah timur ,dan disaat pelarianya dia melihat sebuah pohon besar yang berdiri kokoh, dan denga kesaktian yang dimiliki olehnya dia bersembunyi didalamnya namun hal tersebut diketahui oleh pasukan Batkoro katong dan akhirnya Bathoro katong menyuruh pasukannya untuk membakar pohon tersebut dan akhrnya pohon tersebut hangus tak tersisa sekarang tempat itu diberi nama POH GOSONG .

namun dengan kesaktian yang dimiliki olehnya dia bisa melarikan diri menuju ke arah utara dan disaat pelariannya dia melihat pohon poh yang basar dan dengan kesaktianya dia bersebunyi didalamnya tapi tetap ketahuan pasukan Bathoro katong dan ahirnya pohon tersebut ditebang namun setelah di tebang pohon tersebut tidakterdapat siapa siapa dan diketahui Surya Alam telah berlari menuju ke arah selatan dan pada saat itu di sebuah desa terdapat pesta perkawinan dasnakhirnya terlihat menuju ke pesta itu untuk bersembunyi ,akhirnya pasukan Bathro katong mengejarnya ke tempat itu ,saking ramai dan penatnya karena pesta pasukan Bathoro Katong tidak berhasil menangkap Surya Alam ,dan diapun kembali berlari menuju selatan namun sebelum terlalu jauh pasukan Bathoro katong berhasil menjebaknya(memblancang) dari empat sisi ,namun lagi lagi dia berhasil kabur dan dia menuju kearah sebuah gunung, dan dia berlari menuju keatas gunung itu dan saat para pasukan mencarinya, dia sudah tidak di temukan , beberapa hari kemudian dari arah mata air yang ada di gunung tersebut tercium aroma bacin ,para pasukan dan bathoro katong mengira bahwa aroma itu berasa dari bangkai Surya alam .


Beberapa hari kemudian Bathoro atong dengan istrinya dan dibantu oleh pasukannya menebang hutan yang ada di daerah itu untuk membentuk sebuah padepokan yang diberi nama padepokan Ponorogo.
Selengkapnya...

--> Read more...

Ki Ageng Surya Alam Menciptakan Seni Reog

Mendengar nama “Reog” angan-angan akan melayang pada suatu tontonan dari Jawa Timur, yang menampilkan makhluk berkepala harimau dengan hiasan bermahkota bulu merak di kepalanya. Di sekitarnya menari-nari badut bertopeng bermata melotot dan beberapa penari kuda kepang bergerak lincah. Gamelan (musik) yang mengiringi bersuara riuh dan monoton. Gambaran di atas adalah Reog Ponorogo yang paling dikenal di antara reog-reog yang ada di Jawa Timur.


Reog Ponorogo memang lebih dominan dibandingkan dengan reog-reog lainnya, seperti Reog Kediri atau pun Reog Tulungagung, namun bukan berarti dua yang disebut terakhir ini lebih rendah mutunya dibandingkan dengan Reog Ponorogo. Sama sekali tidak. Masing-masing mempunyai corak dan karakter sendiri-sendiri.

Di daerah-daerah lainnya bahkan sering dijumpai jenis-jenis tontonan rakyat yang sebenarnya merupakan sempalan dari kesenian reog, antara lain tari Jaranan atau Kuda Kepang yang muncul dengan berbagai ragam bentuk.

Reog Ponorogo, seperti namanya lahir di bumi Ponorogo, sebuah daerah di Jawa Timur. Reog Ponorogo sebagai kesenian rakyat banyak berperan dalam kehidupan masyarakat berdasarkan adat istiadat setempat. Di samping sebagai alat penghibur yang amat digemari, reog juga sering dipergunakan pada arakan pengantin, perayaan dan upacara adat seperti bersih desa, atau pun pada perayaan nasional seperti memperingati Proklamasi dan sebagainya. Dengan demikian disamping sebagai alat hiburan Reog Ponorogo pun mempunyai peranan simbolik yang bersifat mistik. Bagi orang-orang yang percaya dapat dipergunakan sebagai penolak bala, penolak sial dan sebagainya.

Dalam kenyataan dijumpai pula, reog dapat dipergunakan sebagai alat penghimpun masyarakat yang kemudian dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan tertentu.

Daerah penyebaran Reog Ponorogo meliputi sebagian besar daerah Jawa Timur dan beberapa daerah di Jawa Tengah. Khusus daerah Kediri dan Tulungagung, selain terdapat Reog Ponorogo, juga dijumpai atau memiliki jenis reog tersendiri, yang corak dan karakternya berbeda.

Faktor utama yang mempengaruhi penyebaran Reog Ponorogo ini adalah daya pesona Reog Ponorogo yang demikian kuat sehingga sangat disenangi oleh penontonnya. Disamping itu orang-orang Ponorogo sendiri mempunyai rasa kebanggaan yang tebal terhadap kesenian tersebut. Sehingga bila seniman reog berpindah tempat terdapat kecenderungan mereka mendirikan suatu unit kesenian Reog Ponorogo di tempat “perantauan” itu.

Asal-usul Reog Ponorogo, menurut sumber tradisi, timbul pada masa pemerintah Bra Kertabumi di Majapahit. Pada pemerintahan raja tersebut konon salah seorang pembantu dekatnya yang bernama Ki Ageng Surya Alam menyingkir dari sisi sang Raja. Bahkan Ki Ageng Surya menyingkir dari Ibukota Majapahit. Hal ini dilakukan oleh Ki Ageng Surya karena melihat kerajaan Majapahit sudah menyimpang dari kebiasaan sehingga ia memperkirakan akan dapat terjadi keruntuhan. Ki Ageng Surya Alam menganggap permaisuri raja terlalu banyak mempengaruhi prihal negara sehingga dirinya merasa tidak cocok lagi dan kemudian menyingkir ke sebuah desa yang bernama desa Kutu di Daerah Wengker (Ponorogo sekarang).

Di desa Kutu itu Ki Ageng Surya Alam mendirikan sebuah perguruan yang mengajarkan ilmu “kanuragan” (ilmu kekebalan/kesaktian) di samping ilmu kebatinan dan keprajuritan. Dalam perguruan ini diterapkan disiplin yang ketat dan para siswa yang terdiri dari para pemuda dilarang bergaul dengan wanita. Untuk menghindari kontak dengan wanita para siswa pun diasramakan. Bagi yang melanggar pantangan yang unik ini, konon dapat kehilangan kesaktian yang telah dimiliki. Konon dari sini pula lahir tradisi “warok” dengan “gemblaknya” yang menjurus pada hubungan dengan lawan sejenis.

Di tempat itu pula Ki Ageng Surya Alam menjadi terkenal dengan nama populer Ki Ageng Kutu.

Dari asal usul mendirikan perguruan dapat diterka bahwa Ki Ageng Kutu melakukan oposisi terhadap kekuasaan Raja. Hal tersebut ditunjukkan pula oleh Ki Ageng Kutu, yang juga seorang seniman, melalui karya seni ciptaannya. Isi dan cara pengungkapan merupakan gambaran karikatural situasi negara Majapahit pada waktu itu. Kesenian inilah yang kemudian dikenal dengan nama Reog.

Reog asli yang diciptakan Ki Ageng Kutu ini sangat sederhana. Satu unit reog hasil ciptaan Ki Ageng Kutu terdiri dari para pelaku: Singabarong dengan bulu meraknya, bujungganong, dua jathilan dengan penari dua orang laki-laki yang didandani perempuan. Alat musik (tetabuhannya) terdiri dari satu kendang, dua angklung, satu kenong, satu gong, satu selompret. Sedangkan pegiring terdiri dari beberapa orang yang tidak ditentukan jumlahnya, tugasnya serabutan membantu dimana diperlukan dan terutama memeriahkan suasana dengan senggakan-senggakan dan sorak-sorai yang riuh gemuruh.

Singabarong dimaksudkan sebagai pengejawantahan Raja yang sedang berkuasa, burung merak di kepala melambangkan permaisuri raja yang sedang menduduki kepala raja. Bujangganong atau ganong diwujudkan dalam bentuk topeng merah dengan mata melotot dan kumis panjang, hidung panjang yang melambangkan si pencipta kesenian tersebut, yang mampu penasehat raja, ia akan mengundurkan diri jika sang raja marah. Hal ini tergambar jelas pada saat Bujangganong menari bersama Singabarong.

Sedang sepasang penari jathilan (jaran kepang) yang dimainkan oleh laki-laki dengan dandanan perempuan, dimaksudkan sebagai gambaran prajurit-prajurit kerajaan yang telah kehilangan kejantanannya. Dalam tarian digambarkan pula penari jathilan tidak lagi disiplin terhadap sang Raja (Singabarong).

Bunyi tetabuhan yang riuh, dibarengi dengan sorak-sorai dan senggakan-senggakan menggambarkan usaha Bujangganong menarik perhatian rakyat agar menyaksikan tingkah laku raja.

Sepeninggal Ki Aeng Kutu, kesenian reog yang sudah berakar di masyarakat diteruskan oleh Ki Ageng Mirah, tetapi Ki Ageng Mirah memperbaharui reog ciptaan Ki Ageng Kutu. Bila yang terdahulu menggambarkan usaha menjatuhkan atau menyindir Prabu Kertabumi kini digantikan dengan latar belakang legenda yang disambil dari cerita-cerita Panji. Tokoh-tokoh yang semula tidak ada pada reog ciptaan Ki Ageng Kutu ditambah dengan tokoh-tokoh seperti Kelana Sewandana, Sri Ghentayu, Dewi Sanggalangit dan lain-lainnya.

Dalam perkembangannya dari masa ke masa reog mengalami pasang surut. Pada zaman penjajahan Belanda, Reog pernah dilarang dipentaskan karena sering menimbulkan keributan, terutama disebabkan karena persaingan antar “warok” yang ingin lebih diakui keberadaannya. Setelah kurang lebih dua puluh tahun mandeg, salah seorang Bupati Ponorogo meminta kepada pemerintah Belanda agar reog diijinkan dipentaskan. Untuk itu Bupati tersebut menjamin ketertibannya. Kemudian baru tahun 1936 reog diijinkan dipentaskan.

Beberapa tahun kemudian kembali kesenian reog mengalami guncangan karena reog di bawah pemerintahan Jepang sangat sulit berkembang. Hal tersebut diakibatkan oleh sikap pemerintah Jepang yang tidak memberikan waktu kepada masyarakat untuk mengembangkan kesenian reog secara wajar. Anggota unit reog biasanya tidak pernah luput dari bermacam-macam kewajiban yang digerakkan oleh pemerintah Jepang.

Setelah perubahan yang dilakukan oleh Ki Ageng Mirah, Reog Ponorogo tidak lagi bersifat satirik belaka, tetapi telah bersifat legendarik yaitu menceritakan kisah-kisah yang berhubungan dengan cerita Panji. Jenisnya pun menjadi beraneka ragam, antara lain versi Kelana-Sanggalangit (yang menceriterakan peperangan antara kerajaan Daha dengan kerajaan Bantarangin Ponorogo), versi Widjaya-Kilisuci yang mengisahkan peperangan antara kerajaan Kahuripan dengan kerajaan Wengker, versi Asmarabangun-Rahwanaraja dan sebagainya. Dalam hal ini mulai ditambahkan berbagai tokoh yang disesuaikan dengan cerita yang dikehendaki.

Menyaksikan sebuah pertunjukan Reog Ponorogo, disamping menyaksikan kisah-kisah cerita, juga dapat disaksikan keterampilan berakrobat dari para pemainnya. Para pemain seperti mempunyai kekuatan luar biasa. Pemain Singabarong dapat begerak lincah walaupun beban yang dibawa cukup berat. Bahkan dalam pertunjukan tertentu reog sering menampilkan ketangkasan dan kemampuan pemain melakukan sesuatu di luar kemampuan manusia biasa.

Kesenian Reog Ponorogo yang sudah dikenal ini, kiranya perlu dilestarikan dan dikembangkan kehadirannya di bumi Nusantara. Dengan tambahan kreasi baru yang beraneka ragam Reog Ponorogo tentu akan lebih memikat dan menawan.
Selengkapnya...

--> Read more...

Lembu Kanigoro

Raden Katong, yang kemudian lazim disebut Batoro Katong, bagi masyarakat Ponorogo mungkin bukan sekedar figur sejarah semata. Hal ini terutama terjadi di kalangan santri yang meyakini bahwa Batoro Katong-lah penguasa pertama Ponorogo, sekaligus pelopor penyebaran agama Islam di Ponorogo.


Batoro Katong, memiliki nama asli Lembu Kanigoro, tidak lain adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari selir yakni Putri Campa yang beragama Islam. Mulai redupnya kekuasaan Majapahit, saat kakak tertuanya, Lembu Kenongo yang berganti nama sebagai Raden Fatah, mendirikan kesultanan Demak Bintoro. Lembu Kanigoro mengikut jejaknya, untuk berguru di bawah bimbingan Wali Songo di Demak. Prabu Brawijaya V yang pada masa hidupnya berusaha di-Islamkan oleh Wali Songo, para Wali Islam tersebut membujuk Prabu Brawijaya V dengan menawarkan seorang Putri Campa yang beragama Islam untuk menjadi Istrinya.

Berdasarkan catatan sejarah keturunan benerasi ke-126 beliau yaitu Ki Padmosusastro, disebutkan bahwa Batoro Katong dimasa kecilnya bernama Raden Joko Piturun atau disebut juga Raden Harak Kali. Beliau adalah salah seorang putra Prabu Brawijaya V dari garwo pangrambe (selir yang tinggi kedudukannya).

Walaupun kemudian Prabu Brawijaya sendiri gagal untuk di-Islamkan, tetapi perkawinannya dengan putri Campa mengakibatkan meruncingnya konflik politik di Majapahit. Diperistrinya putri Campa oleh Prabu Brawijaya V memunculkan reaksi �protes� dari elit istana yang lain. Sebagaimana dilakukan oleh seorang punggawanya bernama Pujangga Anom Ketut Suryongalam. Seorang penganut Hindu, yang berasal dari Bali.

Tokoh yang terakhir ini, kemudian �desersi� untuk keluar dari Majapahit, dan membangun peradaban baru di tenggara Gunung Lawu sampai lereng barat Gunung Wilis, yang kemudian dikenal dengan nama Wengker (atau Ponorogo saat ini). Ki Ageng Ketut Suryangalam ini kemudian di kenal sebagai Ki Ageng Kutu atau Demang Kutu. Dan daerah yang menjadi tempat tinggal Ki Ageng Kutu ini dinamakan Kutu, kini merupakan daerah yang terdiri dari beberapa desa di wilayah Kecamatan Jetis.

Ki Ageng Kutu-lah yang kemudian menciptakan sebuah seni Barongan, yang kemudian disebut Reog. Dan reog tidak lain merupakan artikulasi kritik simbolik Ki Ageng Kutu terhadap raja Majapahit (disimbolkan dengan kepala harimau), yang ditundukkan dengan rayuan seorang perempuan/Putri Campa (disimbolkan dengan dadak merak). Dan Ki Ageng Kutu sendiri disimbolkan sebagai Pujangga Anom atau sering di sebut sebagai Bujang Ganong, yang bijaksana walaupun berwajah buruk.

Pada akhirnya, upaya Ki Ageng Kutu untuk memperkuat basis di Ponorogo inilah yang pada masa selanjutnya dianggap sebagai ancaman oleh kekuasaan Majapahit. Dan selanjutnya pandangan yang sama dimiliki juga dengan kasultanan Demak, yang nota bene sebagai penerus �kejayaan� Majapahit walaupun dengan warna Islamnya. Sunan Kalijaga, bersama muridnya Kiai Muslim (atau Ki Ageng Mirah) mencoba melakukan �investigasi� terhadap keadaan Ponorogo, dan mencermati kekuatan-kekuatan yang paling berpengaruh di Ponorogo. Dan mereka menemukan Demang Kutu sebagai penguasa paling berpengaruh saat itu.

Demi kepentingan ekspansi kekuasaan dan Islamisasi, penguasa Demak mengirimkan seorang �putra terbaiknya� yakni yang kemudian dikenal luas dengan Batoro Katong dengan salah seorang santrinya bernama Selo Aji dan diikuti oleh 40 orang santri senior yang lain.

Raden Katong akhirnya sampai di wilayah Wengker, lalu kemudian memilih tempat yang memenuhi syarat untuk pemukiman, yaitu di Dusun Plampitan, Kelurahan Setono, Kecamatan Jenangan. Saat Batoro Katong datang memasuki Ponorogo, kebanyakan masyarakat Ponorogo adalah penganut Budha, animisme dan dinamisme.

Singkat cerita, terjadilah pertarungan antara Batoro Katong dengan Ki Ageng Kutu. Ditengah kondisi yang sama sama kuat, Batoro Katong kehabisan akal untuk menundukkan Ki Ageng Kutu. Kemudian dengan �akal cerdasnya� Batoro Katong berusaha mendekati putri Ki Ageng Kutu yang bernama Niken Gandini, dengan di �iming-imingi� akan dijadikan istri.

Kemudian Niken Gandini inilah yang �dimanfaatkan� Batoro Katong untuk mengambil pusaka Koro Welang, sebuah pusaka pamungkas dari Ki Ageng Kutu. Pertempuran berlanjut dan Ki Ageng Kutu menghilang, pada hari Jumat Wage di sebuah pegunungan di daerah Wringin-Anom Sambit Ponorogo. Hari ini oleh para pengikut Kutu dan masyarakat Ponorogo (terutama dari abangan), menganggap hari itu sebagai hari naas-nya Ponorogo.

Tempat menghilangnya Ki Ageng Kutu ini disebut sebagai Gunung Bacin, terletak di daerah Bungkal. Batoro Katong kemudian, mengatakan bahwa Ki Ageng Kutu akan moksa dan terlahir kembali di kemudian hari. Hal ini dimungkinkan dilakukan untuk meredam kemarahan warga atas meninggalnya Ki Ageng Kutu.

Setelah �dihilangkannya� Ki Ageng Kutu, Batoro Katong mengumpulkan rakyat Ponorogo dan berpidato bahwa dirinya tidak lain adalah Batoro, manusia setengah dewa. Hal ini dilakukan, karena Masyarakat Ponorogo masih mempercayai keberadaan dewa-dewa, dan Batara. Dari pintu inilah Katong kukuh menjadi penguasa Ponorogo, mendirikan istana, dan pusat Kota, dan kemudian melakukan Islamisasi Ponorogo secara perlahan namun pasti.

Pada tahun 1486, hutan dibabat atas perintah Batara Katong, tentu bukannya tanpa rintangan. Banyak gangguan dari berbagai pihak, termasuk makhluk halus yang datang. Namun, karena bantuan warok dan para prajurit Wengker, akhirnya pekerjaan membabat hutan itu lancar.

Lantas, bangunan-bangunan didirikan sehingga kemudian penduduk pun berdatangan. Setelah menjadi sebuah Istana kadipaten, Batara Katong kemudian memboyong permaisurinya, yakni Niken Sulastri, sedang adiknya, Suromenggolo, tetap di tempatnya yakni di Dusun Ngampel. Oleh Katong, daerah yang baru saja dibangun itu diberi nama Prana Raga yang berasal atau diambil dari sebuah babad legenda "Pramana Raga". Menurut cerita rakyat yang berkembang secara lisan, Pono berarti Wasis, Pinter, Mumpuni dan Raga artinya Jasmani. sehingga kemudian dikenal dengan nama Ponorogo.

Kesenian Reog yang menjadi seni perlawanan masyarakat Ponorogo mulai di eliminasi dari unsur-unsur pemberontakan, dengan menampilkan cerita fiktif tentang Kerajaan Bantar Angin sebagai sejarah reog. Membuat kesenian tandingan, semacam jemblungan dan lain sebagainya. Para punggawa dan anak cucu Batoro Katong, inilah yang kemudian mendirikan pesantren-pesantren sebagai pusat pengembangan agama Islam.

Dalam konteks inilah, keberadaan Islam sebagai sebuah ajaran, kemudian bersilang sengkarut dengan kekuasaan politik. Perluasan agama Islam, membawa dampak secara langsung terhadap perluasan pengaruh, dan berarti juga kekuasaan. Dan Batoro Katong-lah yang menjadi figur yang diidealkan, penguasa sekaligus �ulama.

Beliau kemudian dikenal sebagai Adipati Sri Batoro Katong yang membawa kejayaan bagi Ponorogo pada saat itu, ditandai dengan adanya prasasti berupa sepasang batu gilang yang terdapat di depan gapura kelima di kompleks makam Batoro Katong dimana pada batu gilang tersebut tertulis candrasengkala memet berupa gambar manusia, pohon, burung ( Garuda ) dan gajah yang melambangkan angka 1418 �aka atau tahun 1496 M.

Batu gilang itu berfungsi sebagai prasasti "Penobatan" yang dianggap suci. Atas dasar bukti peninggalan benda-benda pubakala tersebut dengan menggunakan referensi Handbook of Oriental History dapat ditemukan hari wisuda Batoro Katong sebagai Adipati Kadipaten Ponorogo, yakni pada hari Ahad Pon Tanggal 1 Bulan Besar, Tahun 1418 �aka bertepatan dengan Tanggal 11 Agustus 1496 M atau 1 Dzulhijjah 901 H. Selanjutnya tanggal 11 Agustus ditetapkan sebagai Hari Jadi Kabupaten Ponorogo.

Batoro Katong dikenal memiliki sebuah pusaka tombak bernama Kyai Tunggul Naga. Tombak ini memiliki pamor kudung, tangkainya dari sulur pohon jati dan terdapat ukiran naga, dengan ukuran panjang kira-kira 60 cm.

Ada dua versi tentang asal muasal tombak pusaka tersebut. Yang pertama versi keturunan Demang Kutu Ki Ageng Suryangalam dan versi Babad Ponorogo.

Versi keturunan Demang Kutu, menyebutkan bahwa tombak Kyai Tunggul Naga dulunya milik Ki Ageng Suryangalam yang menjadi demang di Kutu. Dimana, Demang Suryangalam yang sebelumnya pujangga di istana Majapahit pergi meninggalkan istana karena kecewa. Nasehat-nasehatnya untuk menata negeri Majapahit tidak didengarkan oleh Prabu Kertabhumi. Menjelang runtuhnya kerajaan besar itu, keadaan negeri semrawut, bobrok. Banyak gerakan separatis ingin memisahkan diri dari Majapahit.

Sikap oposan Demang Suryangalam ini membuat Prabu Kertabhumi marah, ia kemudian menyuruh salah seorang puteranya yang bernama Raden Batara Katong untuk menangkap Demang Suryangalam. Setelah berhasil mengalahkan Demang Kutu, Raden Batara Katong kemudian memiliki tombak Kyai Tunggul Naga. Adapun tombak itu aslinya berasal dari Tuban, pusaka Adipati Tuban Ranggalawe. Tombak Kyai Tunggul Naga dikenal sebagai pusaka yang ampuh.

Sedang menurut versi Babad Ponorogo, tombak Kyai Tunggul Naga diperoleh Batara Katong dari hasil bersemadi di sebuah tanah lapang tanpa rumput sehelai pun yang disebut ara-ara. Waktu itu Ponorogo masih disebut Wengker. Raden Batara Katong ditemani oleh Ki Ageng Mirah, Patih Seloaji dan Jayadipa. Dari ara-ara itu didapatkan tombak Kyai Tunggul Naga, payung dan sabuk.

Sampai saat ini, nama Batoro Katong, di abadikan sebagai nama Stadion dan sebuah jalan utama Ponorogo. Batoro Katong-pun selalu di ingat pada peringatan Hari Jadi Ponorogo, tanggal 1 Suro. Pada saat itu, pusaka tumbak Kara Welang di kirab dari makam Batoro Katong di kelurahan Setono, Kota Lama, menuju Pendopo Kabupaten. Menurut Amrih Widodo (1995), pusaka sebagai artefact budaya memang seringkali diangkat statusnya oleh kekuasaan pemerintah lokal, sebagai �totems�, suatu yang secara sengaja di keramatkan dan menjadi simbol identitas lokal.

Hal inilah yang menunjukkan Batoro Katong memang tak bisa lepas dari �alam bawah sadar� masyarakat Ponorogo, dan menjadi simbol masa lalu (sejarah) sekaligus bagian dari masa kini. Batoro Katong bukan sekedar bagian dari realitas masa lalu, namun adalah bagian dari masa kini. Hidup di alam �hiperealitas�, dan menjadi semacam belief yang boleh emosi, keyakinan, kepercayaan masyarakat. Mengutip The Penguin Dictionary of Psycology, Niniek L.Karim mendefinisikan belief sebagai penerimaan emosional terhadap suatu proposisi, pernyataan dan doktrin tertentu.

Bagi kalangan tokoh-tokoh muslim tradisional, Batoro Katong tidak lain adalah peletak dasar kekuasaan politik di Ponorogo, dan lebih dari itu seorang pengemban misi dakwah Islam pertama. Posisinya sebagai penguasa sekaligus �ulama pertama Ponorogo inilah yang menjadi menarik untuk dilacak lebih jauh, terutama dalam kaitan membaca wilayah alam bawah sadar yang menggerakkan kultur politik kalangan pesantren, khususnya elit-elitnya (kyai dan para pengasuh pesantren) di Ponorogo.

Alam bawah sadar inilah yang menurut psikolog Freudian, dominan menggerakkan perilaku manusia. Dan alam bawah sadar ini terbentuk dari tumpukan keyakinan, nilai, trauma-trauma yang terjadi dimasa lalu, yang kemudian hidup terus di bawah kesadaran individu dan suatu masyarakat dari waktu ke waktu.

Bagi masyarakat Ponorogo, Batoro Katong adalah tokoh dan penguasa pertama yang paling legendaris dalam masyarakat Ponorogo. Sampai saat ini Batoro Katong adalah simbol kekuasaan politik yang terus dilestarikan oleh penguasa di daerah ini dari waktu ke waktu. Tidak ada penguasa Ponorogo, yang bisa melepaskan dari figur sejarah legendaris ini.

dari :http://macanponorogo.blogspot.com
Selengkapnya...

--> Read more...

Masjid Tegalsari

sejarah.
Dimulai dari Desa Setono sekitar 6 km selatan Kota Ponorogo. Dahulu tempat itu masih berupa hutan yang dibuka dua oleh orang bersaudara yang bernama Pangeran Sumende dan Donopuro. Mereka mendirikan pesantren di situ dan di sana ada seorang santri yang menonjol dalam hal keilmuan bernama Besari dari Caruban- Madiun. Ia diambil menantu Kyai Nur Salim dari Ds. Manteb – Ngasinan Jetis. Kemudian Besari diberi lahan.


sebelah timur Ds. Setono dan mendirikan sebuah Mesjid dan Pesantren Tegalsari. Selanjutnya ia memimpin Pesantren di Desa Tegalsari. Pada waktu terjadi pemberontakan di Mataram Kartusuro oleh Raden Mas Garendi dan kraton berhasil diduduki, Paku Buwono II, penguasa kraton saat itu melarikan diri dan bersembunyi di Desa Tegalsari. Kyai Ageng Besari membantu Paku Buwono untuk merebut kembali kraton dan akhirnya berhasil dikuasai kembali. Sebagai tanda terima kasih Desa Tegalsari diberi hak sebagai tanah perdikan (bebas pajak). Mesjid Tegalsari ramai pada saat bulan puasa dan kini menjadi cagar budaya. Terletak di desa Tegalsari Kecamatan Jetis, masjid ini merupakan peninggalan Kyai Ageng Hasan Besari, seorang ulama besar yang hidup sekitar tahun 1742, pada jaman pemerintahan Suna Pakubuwono II.

Masjid Tegalsari diperkirakan dibangun pada tahun tersebut dan merupakan pusat penyiaran agama Islam terbesar di wilayah Kabupaten Ponorogo.Di masjid itu pula didirikan Pondok Tegalsari yang amat tersohor dan mempunyai ribuan santri, berasal dari seluruh tanah Jawa dan sekitarnya sehingga seluruh desa tegalsari menjadi Pondok bahkan melimpah di desa-desa sekitarnya, antara lain desa Jabung, desa Josari dan sebagainya



Banyak alumni Pondok Tegalsari yang menjadi tokoh masyarakat yang tercatat dalam sejarah bangsa Indonesia,antara lain pujangga Jawa R. Ng. Ranggawarsita, tokoh pergerakan Nasional HOS Cokroaminoto, dan sebagainya.
Majid dan Pondok Tegasari mempunyai kaitan erat dengan kisah pelarian Sunan Paku Buwono II ke wilayah Ponorogo. Di Pondok inilah Sunan Pakuwuwono II tinggal beberapa hari dan mendapat bimbingan Kyai Ageng Hasan Besari.Pada saat itu, 30 Juni 1742, Kerajaan Kartasuro sedang menghadapi pemberontakan Cina yang dipimpin oleh RM Garendi atau Sunan Kuning. Begitu hebat pemberontakan sehingga Sunan Paku Buwono II terpaksa meninggalkan keraton dan menuju wilayah Ponorogo sampai akhirnya bertemu dengan Kyai Ageng Hasan Besari.Berkat bimbingan Kyai Ageng Hsan Besari, api pemberontakan dapat dipadamkan dan Sunan Paku Buwono II dapat bertahta kembali di Kartasura. Untuk membalas kebaikan Kyai Ageng Hasan Besari, desa Tegalsari dinyatakan sebagai daerah yang merdeka atau disebut dengan ‘PERDIKAN” yang bebas dari segala macam kewajiban pajak terhadap kerajaan.

Sepeninggal Kyai Ageng Hasan Besari, kejayaan Pondok Tegalsari tinggal kenangan. Jumlah santrinya kian menyusut. Walaupun demikian , banyak para santri dan anak cucunya yang mengembangkan agama Islam dengan mendirikan Pondok Pesantren di berbagai daerah di seluruh Nusantara. Salah satu yang terbesar adalah Pondok Modern Darussalam Gontor yang terletak di wilayah kecamatan Mlarak. Pondok ini didirikan oleh tiga orang cucu kayi Ageng Hasa Besari.


Masjid dengan arsitektur jawa ini memliki 36 tiang, yang mengandung arti jumlah wali / wali songo (3+6=9) yang menyebarkan agama Islam di Pulau Jawa dan atap berbentuk kerucut yang mengambarkan Keagungan Allah Swt. Serta didalam masjid ini pula tersimpan kitab yang berumur 400 tahun yang ditulis oleh Ronggo Warsito.
Komplek Masjid Tegalsari terdiri dari tiga bagian yaitu:
1. Dalem Gede / kerajaan kecil yang dulunya merupakan pusat pemerintahan
2. Dua buad Masjid
3. Komplek makam kiayi Ageng Mohamad Besari

Kini Pondok Tegalsari memang masih berdiri namun jumlah santrinya hanya ratusan orang. Walaupun demikian Masjid ini setiap harinya tidak pernah sepi oleh umat khususnya pada hari jumat kliwon dan hari senin kliwon dimana diadakan Digrul Ghifili dan Istigosah. Demikian juga setiap Ramadhan pada malam ganjil Lailatul Qadar, ko,plek pondok Tegalsari ini banyak dikunjungi orang untuk melakukan i’tikaf dengan bersembahyang jamaah tengah malam di Masjid Tegalsari.

Pada tahun 1977, masjid bersejarah itu dipugar dengan dan bantuan dari Presiden Soeharto sebesar Rp.7.500.000,- dan bantuan Pemerintah daerah Tingkat I Jawa Timur sebesar Rp.10.000.000,- Peresmian pemugarannya dilakukan oleh Bapak Presiden H.M. Soeharto pada tahun 1977.
Selengkapnya...

--> Read more...

Minggu, 07 Maret 2010

SEJARAH PONOROGO

SEJARAH PONOROGO
A. PONOROGO PADA JAMAN SEBELUM MAJAPAHIT DAN JAMAN MAJAPAHIT

1. KERAJAAN WENGKER SEBELUM MAJAPAHIT
Menurut tradisi, babad, dan pendapat para sarjana bahwa Ponorogo pada jaman
dahulu dikenal dengan nama wengker. Untuk memberi gambaran tentang perjalanan
Wengker pada masa lalu perlu kiranya menengok beberapa peristiwa sejarah yang
mendahuluinya, sebagai berikut ini :
Pengaruh India pada abad-abad pertama tarik Masehi telah nampak di Jawa Timur
yaitu di daerah Jember ditemukan patung kesenian Amarawati. Namun di daerah terlindung
seperti Jawa Tengah pengaruh India dapat melahirkan kebudayaan tinggi
Masa-masa kebesaran kerajan di Jawa Tengah terjadi Pada abad VIII dan IX,
sedangkan di Jawa Timur belum ada kerajaan yang besar. Di Jawa Timur telah timbul
beberapa pusat kerajaan yang belum berdaulat antara lain Kerajaan Kanuruhan, dan
Kanjuruhan seperti yang tertulis dalam prasati Dinoyo dengan angka tahun 760 Masehi.
Sejarah perkembangan kerajaan –kerajaan di Jawa Timur termasuk Wengker telah ada yang
menjadi pusat pemerintahan walaupun masih dikatakan terbatas
Perhubungan antara Jawa Tengah dan Jawa Timur baru mengalami perubahanperubahan
besar pada sekitar tahun 900 Masehi. Yaitu pada waktu Raja Balitung naik tahta
di Medang Jawa Tengah. Balitung mendapat kekuasaan berkat perkimpoiannya dengan Putri
Rajakula di Jawa Tengah. Kekuasan Balitung meliputi wilayah Jawa tengah dan Jawa
Timur. Balitung dan pengganti-penggantinya sampai Raja Wawa masih berkeraton di Jawa
tengah.
Perpindahan kerajaan dari Jawa Tengah ke Jawa Timur, menurut Prof. Dr. Gde
Casparis dapat disebabkan oleh hal-hal berikut
Raja –raja lama seperti Balitung sampai dengan Wawa lebih mementingkan Jawa Timur
daripada Jawa Tengah karena pentingnya perdagangan, antar pulau saat itu
Pemimpin-pemimpin di jawa menghadapi serangan-serangan dari Sriwijaya dan
memutuskan membela bagian-bagian kerajaan yang dipentingkan untuk masa depan
seperti lembah rendah Sungai Brantas
Empu Sindok naik tahta kerajaan Medang tahun 929 M. Mpu Sindok sebelum
menjadi raja pernah menjabat Muhamantri I Halu dan I Hino pada masa Raja Tulochong dan
masa Raja Wawa
Perlu diketahui bahwa pertentangan antara Sriwijaya dan Jawa Timur telah
berlangsung sejak 925 M. dan berlanjut kurang lebih satu abad sampai jaman Airlannga. Hal
ini terjadi karena hubungan serta perdagangan di Jawa Timur semakin maju dan Sriwijaya
iri kemudian ingin mengambil tindakan kepada kerajaan di Jawa Timur 3
Untukmencapai tujuan tersebut pada tahun 928 M. Sriwijaya mengirimkan pasukan
Melayu dari daerah Jambi untuk membasmi pusat-pusat kekuatan di Jawa Timur.
Pasukan pasukan tersebut sampai dekat Nganjuk menderita kekalahan oleh lasakar yang dipimpin
Mpu Sindok ( Prasasti Sindok/Jayastamba di Anjuk ladang tahun 937 M )
Berdasarkan uraian di atas dapat diketahui bahwa kegagalan penyerangan Sriwijaya
pertama pada waktu pemerintahan Mpu Sindok
Dari berita Cina dijelaskan bahwa pada tahun 990 M. Dharmawangsa mengadakan
serangan Sriwijaya. Ia menguasai beberapa daerah di pantai Sriwijaya sehingga hubungan
Sriwijaya dengan daerah luar tertutup. Hal ini juga dijelaskan oleh Prof. Dr. G. de Carparis
dalam pidatonya pada tahun 1958 yang maksud penyerangan tersebut merupakan bentuk
pembelaan terhadap ancaman Sriwijaya. Di samping itu Jawa membuka hubungan resmi
dengan Tiongkok tahun 1922 M

Wengker dalam perjalanan Sejarahnya antara lain :
a. Pada awal abad XI
Pada tahun 1016 kerajaan dharmawangsa secara tiba-tiba serangan dari sriwijaya
sehingga raja Dharmawangsa dan seluruh pembesar istana tewas. Peristiwa ini dikenal
dengan “ Pralaya “ atau kehancuran. Satu-satunya yang berhasil meloloskan diri ialah
Airlangga. Anak Mahendradatta yang saat itu melangsungkan perkimpoiannya dengan Putri
Dharmawangsa
Dalam prasasti Kalkuta ialah Prasati Airlannga disebutkan bahwa RI Prahara Haji
wurawari maso mijil sangka Lwaran. Artinya : pada waktu terjadinya kekacauan ( Prahara ).
Haji wurawari muncul dari Lwaran.
Kesan yang kita terima bahwa kerajaan Dharmawangsa dimusnahkan oleh Raja Wurawari.
Di mana letak Wurawari ada beberapa pendapat :
Menurut Moh. Hari Soewarno letak Wurawari di Jawa Timur menurut Prof. Dr. G .de
Casparis di Semenanjung Malaka, sedang menurut Buku Sejarah Nasional II. Marwan
Djoened P. Terletak di Banyumas Jawa tengah termasuk juga Lwaran terletak di pantai
Bengawan Solo sebelah selatan Cepu di samping itu pula para sarjana yang berpendapat
Wurawari terletak di sekitar Tegal
Tentang penyerangan kerajaan Dharmawangsa oleh raja Wuwawari ada juga yang
berpendapat bahwa karena iri dan kegagalannya memperistri mahkota raja Dharmawangsa
Pendapat lain yang juga mungkin benar adalah persekutuan antara kerajaan
sriwijaya. Wurawari serta Wengker dan sekutunya yang menjadi bawahan Dharmawangsa
ingin menghancurkan kerajaan Medang/Dharmawangsa
Jadi, kesimpulan yang dapat kita tarik dari uraian di atas ialah :
a. Ketertiban Wengker bersama sekutunya menyerang Dharmawangsa dilandasi oleh
politik ekspansi/perluasan kekuatan baru di Jawa timur sehingga mendesak kerajaankerajan
kecil yang telah lama ada
b. Kemajuan dan perkembangan ekonomi yang menjadi persaingan kekuatan antar
kerajaan
c. Adanya rasa dendam yang berkepanjangan seperti masalah-masalah gagalnya
persuntingan serta perebutan tahta kerajaan
Persuntingan wengker dan sekutunya tentu perjuangan tersebut memiliki nilai-nilai
patriotis dan herois tersendiri

b. Perjuangan Wengker pada jaman Airlangga
Prasasti pucangan menyebutkan tahun 952 Saka atau 1030 M. Airlanngga
mengalahkan Haji Wengker yang bernama Panuda yang hina seperti Rawana
(AdnamaPanuda). Raja ini lari meninggalkan keratonnya di Lewa. Tetapi dikejar terus ke
Desa Galuh bagian Barat dan pada tahun 953 Saka atau 1031 M. anaknya dapat dikalahkan
dan keratonnya dihancurkan tidak tersisa, di bagian lain prasati berbunyi “ Haji Wengker
memberontak lagi “. Meskipun daerahnya selalu didatangi tentara raja pada tiap bulan Asuji,
tahun 957 Saka atau 1031 M Haji wengker meninggalkan keratonnya di Tapa dan melarikan
diri di daerah yang sulit dicapai. Meninggalkan anak istri kekeyaan dan emua kendaraan
kerajaan. Beru pada tahun 959 Saka atau 1037 M, ia dapat di tangkap di Kopang. Dijelaskan
bahwa Airlangga menyerbu ke arah barat dengan tentaranya yang tidak terbilang banyaknya.
Rajanya bernama Wijaya ( Warma ) dengan taktik Visnugupta, Raja Wijayawarma
ditangkap oleh rakyatnya sendiri lalu dibunuh.
Haji wengker yang diserang pada tahun 1030 M adalah keturunan Wijaya. Jadi, Haji
Wengker bersifat mempertahankan diri, sedangkan Airlangga yang agresif untuk mencapai
tujuannya yaitu membalas dendam kematian Dharmawangsa. Ayah mertuanya dalam
peristiwa “ Pralaya “
Airlangga dan pemerintahannya bercita-cita mencapai tujuan untuk menyelamatkan
“ Dharma “ menciptakan kembali Negara yang dimusnahkan Wurawati termasuk
menghapuskan aib dan dan derita yang dialami kerajaan mertuanya serta menghilangkan
segala hal yang menghancurkan, bersifat memelihara seperti Dewa Wisnu.
Menjawab pertanyaan siapa raja Wengker pada zaman pemerintahan Airlangga, P.V
Stein Callenfels menyatakan bahwa musuh Airlannga yang paling berbahaya adalah Raja
Wengker yang bernama Wijaya. Setelah dikalhkan oleh Airlangga. Wijaya mengundurka
diri untuk bertapa. Dengan kemenangan ini, berakhirlah peperangan yang dilakukan oleh
Airlangga.
Disamping itu juga ada pendapat lain dari Dr. N.J Krom yang menyatakan
Wijaya Raja Wengker dihalau oleh Airlangga. Lari dan meninggalkan keluarganya ke Kopang tahun 1035 M.
Dari dua pendapat terakhir ini juga nampak bahwa Kerajaan Wengker selalu menjadi
sasaran penyerangan Airlangga. Ini berarti pula bahwa kerajan Wengker sejak dahulu kala
merupakan kekuatan yang disegani dan tidak nampak sebagai kerajaan yang lemah bahkan
tidak agresor, namun bertahan untuk membela wilayah. Sikap dan tindakan Wengker
bersama sekutunya merupakan musuh besar Airlangga di Jawa Timur seperti ini adalah
wajar karena wengker memang kerajan yang tua dan telah ada sebelum berdirinya kerajaan
Dharmawangsa maupun kerajaan Airlangga di Jawa Timur.
Dengan demikian sejak perpindahan kerajaan Mpu Sindok dari Jawa Tengah ke
Jawa Timur dan berdirinya kerajaan Dharmawangsa sampai kerajaan Airlangga. Rupanya
menjadi sumber penyebab kerajaan tua di Jawa Timur terancam baik dari segi politik,
perluasan kekuasaan maupun ekonomi. Yang demikian itu, wajar ditinjau dari adanya rasa
cinta dan kepentingan pengabdian daerahnya kepada Bumi Wengker yang mendarah daging.
Berarti pula, kokoh kuatnya patriotis dan herois yang akan berlanjut pada masa-masa
berikutnya. Disamping itu menunjukkan bahwa politik ekspansif/perluasan wilayah dan
kekuasaan saat itu bertentangan dengan jiwa dan kepribadian Wengker.

2. KERAJAAN WENGKER PADA JAMAN MAJAPAHIT

Di atas telah disinggung tentang perjalanan sejarah Wengker pada jaman Mpu
Sindok. Dharmawangsa serta pada jaman pemerintahan Airlangga walaupun hanya selintas
dan nampak terputus-putus, telah memberi gambaran bahwa sebenarnya eksistensi Wengker
tetap ada dengan pasang surutnya. Bahkan dapat dikatakan sejak jaman Airlangga dulu tidak
terdapat peperangan atau persengketaan di Wengker. Dengan kata lain termasuk tenteram,
demikian menurut babad Ponorogo
Pada masa-masa itulah justru Wengker menata diri, walaupun sebenarnya
sepeninggal Airlangga di luar Wengker selalu terjadi perselisihan dan perebutan kekuasaan
atau tahta kerajaan. Demikian pula yang terjadi pada awal dan akhir Majapahit
Di atas telah disinggung bahwa setelah kerajaan Airlangga terbagi menjadi dua yaitu
kediri/Panjalu dan Jenggala, situasi sudah tidak stabil, kesempatan ini dipergunakan oleh
Wengker untuk menyusun kekuatan baru sehingga sampai dengan jaman Majapahit nama
wengker tetap masih ada dan jaya, justru terjalin hubungan yang saling menguntungkan.
Beberapa peristiwa penting yang membawa kehormatan dan kebesaran peranan
Wengker di jaman Majapahit di antaranya :
Pertama: Perkimpoian Bhre Wengker/Raden Kudamerta/Wijayarajasa dengan Adik
Tribuwana yang menjadi Bhre dengan nama Raja Dewi Maharajasa kimpoi dengan Kudamerta
yang menjadi Bhre Wengker dengan nama Wijayarajasa.
Hal ini berarti Wijayarajasa itu menantu Raden Wijaya
Beberapa peran yang menonjol dari wijayarajasa :
a. Kudamerta/Wijayarajasa dan Raja Dewi Maharajasa hadir dalam musyawarah
pengangkatan calon pengganti Patih Gajah Mada, diantara delapan tokoh yang diundang
pada tahun1364 M
b. Diangkatnya menjadi anggota Dewan Sapta Prabu
c. Anggota Dewan Pertimbangan Agung pada tahun 1351 M
d. Berani dan mampu mengambil sikap tegas terhadap kesalahanyang dilakukan Gajah
Mada atas peristiwa Bubat
e. Mendapat penghargaan/piagam pembangunan bersama dengan Dyah Maharajadewi dari
Kepala Negara Tribuwana Tunggadewi 9
Kedua : Perkimpoian Hayam Wuruk Bhre Hyang Wekas ing Sukha/Rajasanegara dengan
paduka Sori/Putri Wijayarajasa/Raden Kudamerta/Bhre Wengker pada tahun
1357 M
Schrieke menyatakan “ Hayam Wuruk kurang lebih 1357 M mengawini Susumma dewi
alias Paduka Sori ( Anak perempuan Wijayarajasa Raja Wengker, yang juga paman Hayam
Wuruk ). Jadi pada jaman Hayam Wuruk peranan Wengker begitu besar dengan rajanya
Wijayarajasa.

Dalam buku SNI jilid II halaman 437 disebutkan
Berhubung dengan meninggalnya Putri Sunda dalam peristiwa di Bubat Hayam wuruk
kimpoi dengan Paduka Sori anak Bhre Wengker Wijayarajasa, Bibi Hayam
Wuruk.
Peristiwa tersebut merupakan perkimpoian keluarga karena saudara sepupu, Ibu Hayam
Wuruk ( Tribuwana Tunggadewi ) adalah kakak perempuan Ibu Paduka Rajadewi
Maharajasa/Bhre Dhaha
Hyam Wuruk dan Paduka Sori keduanya cucu Raden Wijaya ( Kertarajasa Jayawardana )
Peristiwa tersebut dapat menutup aib dan rasa malu jatuhnya Prestise Majapahit di masa
Nusantara ( Politik Nusantara ) karena peristiwa perang Bubat
Ketiga : Setelah interregnum/ kekosongan kekuasaan tiga tahun lamanya pada tahun : 456
M tampillah Dyah Suryawikrama Girishawardana menaiki tahta kerajan
Majapahit. Ia adalah salah seorang anak Dyah Kertawijaya semasa pemerintahan
ayahnya menjadi Raja daerah Wengker. ( Bathara ing Wengker ).
Didalam paraton ia disebutkan dengan nama gelarnya Bhre Hyang Purwawisesa dan
memerintah selama sepuluh tahun dari 1456-1466 Masehi

Apakah Wijayarajasa itu Bhre Wengker ?
Benar, Wijayarajasa itu adalah Bhre Wengker atau Raden Kumadetta yang menjadi
raja yang berkedudukan di Wengker dan berperan di Majapahit
Hal itu terbukti dari kitab Negara Kertagama yang menyebutkan Priya Haji Sang Umunggu
I Wemgker bangun Hyang Upandrannun ( Napari Wijayarasa popamana parama-ajnottama)
Dalam hal ini Negara kertagama menunjukkan bahwa yang membangun kerajaan adalah
Wijayarajasa sebagi raja pertama.
Disini terdapat perbedaan yakni tentang persamaan nama. Pada jaman Airlangga.
Raja Wengker bernama Wijaya sampai pada jaman majapahit ( Hayam Wuruk ) masih
disebut Wijayarajasa.
Atau mungkin untuk Wengker memang rajanya disebut Wijaya, sama halnya dengan
Majapahit yang menggunakan nama Brawijaya sejak dari pertama sampai penghabisan
Masih ada sumber lain yakni Pararaton yang menceritakan bahwa Raden Kudamerta
kimpoi denga Bhre Dhaha. Raden Kudamerta di Wengker dengan nama Bhre Parameswara
dari Pamoran yang dikenal dengan nama Wijayarajasa. Juga diterangkan bahwa Bhre
Parameswara dari Pamoran meninggal dunia tahun 1310 Saka dan dimakamkan di Manar
dengan nama Wisnubhawana. Kalau mengingat sumber paraton yang menyebutkan Bhre
Parameswara yang juga disebut Wijayarajasa meninggal tahun 1380 M jelas menunjukkan
bahwa yang dimaksud Wijayarajasa pada jaman pemerintahan Hayam wuruk
Sebagaimana disebutkan di atas bahwa perkimpoian Hayam wuruk dengan putri raja
Wengker berlangsung tahun 1357. jadi, ia meninggal 31 tahun setelah mengawinkan anaknya.

Masalah Perkimpoian
Sekarang timbul pertanyaan, apakah perkimpoian itu perkimpoian politik atau
perkimpoian keluarga ?
Dr. N.J Krom mengemukakan bahwa untuk pergi ke Bubad disamakan
dengan pendapat Wengker. Seperti telah diketahui bahwa perang Bubad terjadi sebagai akibat perkimpoian politik yakni salah satu cara dari kerajaan Majapahit untuk menakhlukkan kerajaan bawahan di sekitarnya.
Kalau yang dimaksud oleh Dr. N.J Krom init tentang perkimpoian politik, menunjukakan bahwa pada zaman pemerintahan Hayam Wuruk Wengker menjadi kekuasaannya Wengker saat itu masih cukup kuat.
Pendapat Dr. Th Pigeud yang mendasarkan pendapatnya pada kitab Negarakertagama sebagai
berikut : Dengan membandingkan dua kekuasaan yang cukup kuat yang sangat menarik yakni
antara Wengker. Dhaha dianggap sebagai bulan dan Majapahit. Singasari sebagai Matahari.
Pemerintahan bulan di atas bintang dan planet, sedangkan matahari, sebagiai pancaran sinar
keseluruhan. Majapahit sebagai pusat pemerintahan juga memperhatikan terhadap saingannya.
Inilah perbandingan yang menarik dualisme Jawa = bulan dan matahari
Menurut Dr. Th Pigeud Wengker-Dhaha dianggap sebagai rivalnya (saingannya) kondisinya
saat itu masih cukup kuat
Prof. Moh Yamin di dalam melukiskan kebenaran Batari Wengker ini, mengubah dalam
sajaknya sebagai berikut :

Bathara Wengker
( selanjutnya perintah sang Prabu diiringi pula oleh perintah Seri Paduka Bathara
Wengker )
Nan terbantu oleh keberanian yang dimilikinya dan yang dimuliakan oleh mereka yang
mempunyai sifat-sifat yang baik
Yang bersifat baik terutama tentang kebijaksanaannya yang diperbuat oleh tingkah
lakunya sendiri
Nan berhati sanubari melebihi indahnya hal berbicara atas nama orang yang beriman
Nan hati sanubarinya terpisah dari kesombongan dan kecelakaan
Nan diketahui kebesarannya luar biasa jadi terpujilah oleh rakyat orang baik-baik
sehingga menjadi girang gembira
Nan bertugas kewajiban sendiri, yang tak diabaikan karena mereka diarahkan supaya
memperkuat garis turunnya sendiri
Nan bertegak gelar kerajaan berbunyi Grisyawardhana dan bernama kecil berbunyi Dyah
Suryawikrama
Mengingat tahun 1447 mungkin yang dimaksud Bathara Wengker adala Grisyawardhana
kalau itu benar, saat terjadi perang paregreg Wengker sudah berdiri belakangnya.
Jadi, menurut Pararaton yang sanggup memerintah tahun 1378 Saka sampai 1388 Saka adalah Bhre Wengker dengan nama Bhara Hyang Purwawisesasa sampai disini Wengker masih disebut-sebut.
Selanjutnya menurut Pararaton : Raja Majapahit sesudah Bhre Hyang Purwawisesa ialah
Bhre Pandan Salas memerintah-tahun 1388 Saka atau 1466 M sampai dengan tahun 1390 Saka atau tahun 1486 M, yang diganti oleh Raja Kertabumi, ayah Raden Patah.

PONOROGO JAMAN KESULTANAN DEMAK BINTORO

Setelah pemerintahan pusat majapahit lemah sekali Bandar-bandar di pesisir Jawa
seperti Demak, Jepara, Tuban, Gresik dan Surabaya memerdekakan diri dari Majapahit. Bandar bandar timbul/ berkembang menjadi kerajan-kerajaan kecil, berkat hubungan langsung yang erat dengan Malaka yang lambat laun para pengusaha Bandar-bandar itu lalu menganut islam.
Kerajaan-kerajaan kecil pesisir Jawa tersebut dapat berkembang menjadi Negara besar
ialah Demak. Ketika diperintah oleh Raden Patah sekitar awal XVI, Demak dapat menguasai
kota-kota pesisir yang lain seperti Lasem, Tuban, Gresik, dan Sedayu. Raden Patah diakui
sebagai pemimpin kota-kota dagang pesisir dengan gelar Sultan. Dari Demak agama islam
disebarkan keseluruh jawa bahkan keluar Jawa.
Siapa Raden Patah itu dapat diketahui dari beberapa sumber antara lain menyebutkan
raja-raja Demak menyatakan dirinya sebagai keturunan Prabu Brawijaya Raja majapahit
Demikian pula di dalam Purwaka Caruban Nagari disebutkan dengan jelas bahwa Raden
Patah pendiri dan Sultan pertama Demak adalah anak Prabu Brawijaya Kertabumi.
Raden Patah itu menurut Tome adalah pendiri Demak adalah disebut Pata Rodin.
Babad tanah Jawi menyebutkan pendiri demak adalah Raden Patah seperti kutipan ini :
Risang poetri patoetan kekalih, samya dijaole oambayoene iko. Raden Patah Djoedjoeloeke, nenggih bebekanipun, saking Prabu ing Mahospait, kala ngidam kaworan, pinisah karoehoen, siro sang poatri ing tjino, patoetane lan aryo Damar satoenggil, Raden Koesen kang nama “ Aryo Damar sigro deniro angling. Keh sang Prameswari soetaniro panenggih ing tembe, pasti djoemeneng ratoe Raden Patah ana ing Djawi poerwa raja kang islam. Simeng Majalangoe. Raja kapir kang ginanyan mengkweng Djawi sineba ing para Adji, Djawa tanpa sisingan

Dari Babad Tanah Jawi disimpulkan sebagai berikut :
Raden Patah adalah Putra Prabu Majapahit dengan Putri Cina yang pada waktu hamil
muda diberikan kepada Aryo Damar, setalah lahir bayi itu di beri nama Raden Patah. Jadi, darah yang menurun kepada Raden Patah adalah Prabu Majapahit
Prabu Majapahit yang mempunyai istri Cina adalah Brawijaya terakhir. Arya Damar
menyatakan kepada permaisurinya bahwa putranya yakni Raden Patah akan menjadi raja islam pertama di Jawa. Yang kita ketahui bahwa kerajaan islam yang pertam di Jawa adalah Demak, maka jelas Raden Patah adalah Raden Demak
Pada saat Raden Patah menginjak dewasa kerajaan Hindu Majapahit telah mulai runtuh
yang disebabkan oleh perlawanan kaum bangsawan yang telah mendirikan kota di pantai utara dan mendapat bantuan islam. Kesempatan ini dipergunakan Raden Patah untuk menemui Raden Rahmat. Raden Patah mengutarakan beberapa hal mengenai Majapahit yang telah lemah. Raden Patah tinggal pada Raden Rahmat. Untuk belajar beberapa hal dan setelah cukup diberi kedudukan di Bintoro. Kemudian Bintoro dikembangkan atas dasar islam. Mendengar hal itu raja Majapahit Brawijaya memanggil Raden Patah untuk diangkat Mangkubumi di Bintoro.
Raden Patah memperkuat kedudukan Bintoro, berkat bantuan para wali berkembang menjadi kerajan islam pertama di jawa dengan nama Demak, rajanya Raden Patah dengan gelar panembahan Djimbun
Dalam babad Tanah Jawi disebut peran Raden Rahmat atau Sunan Ampel sebagai
berikut :
15. Angoiko soesoenan ing Ngampel denito poetoe ngong kidipatoes madega nata iyo ing tanah jawa pan siro kang doewe waris koeto ing Demak iku kakim prayogi
20. Moermawarno siro ratoe mangoen islam nama asinopati boen ngabdir rahman, panembahan palembang Syayidin panaragama pamoerwardi nan, ing sarak kanjeng nabi.
Dari beberapa sumber di atas jelas bahwa raden Patah kemudian menjadi raja islam demak
tetapi rupanya saat munculnya Demak majapahit sudah mengalami masa krisis hingga yang
terjadi Brawijaya telah diganti/direbut oleh Girindrawardana yang bukan anaknya sendiri.
Melihat kekacauan ini Raden Patah tidak berkenan karena Majapahit dikuasai keturunan lain
yang tidak berhak atas tahta kerajaan.
Sebenarnya pada jaman pemerintahan Brawijaya raja Majapahit terakhir ( ayah raden Patah )
telah memberi daerah lungguh ( wilayah kekuasaan ) kepada Raden Patah yang kelak
berkembang menjadi kerajaan Demak. Lain halnya yang terjadi dengan Raden Katong yang saat itu belum mempunyai daerah lungguh bahkan masih di daerah naungan Brawijaya. Pada suatu saat Brawijaya tahu bahwa sebelah timur Gunung Lawu dan sebelah barat Gunung Wilis ada seorang Demang dari Desa Kutu yang tidak mau datang Ke Majapahit maka Bathoro Katong disuruh mendatangkan Demang dari Kutu tersebut ke Majapahit.

PERANAN BATHORO KATONG DI PONOROGO
Sebelum mengutarakan peranannya, perlu ditelusuri siapa sebenarnya Raden katong itu.
Ada beberapa pendapat antara lain :
Dr.L.Adam, Residen Madiun :”Batoro katong hidup pada masa runtuhnya Majapahit dan
munculnya Demak ( akhir abad XV dan awal abad XVI ). Mungkin putra Raja Brawijaya V,
yang mudanya Bathoro Katong bernama Lembu Kenongo.
Slamet Hardjosenton, Kepala Kelurahan Setono dan Juru Kunci Makam
Batoro Kathongialah Putra Brawijaya raja Majapahit yang terakhir, atas perkimpoiannya dengan Putri dari Begelen. Pada masa mudanya Batoro Katong bernama Kebo Kanigoro.
Sri Sarno, Kepala pembinaan Kebudayaan kabupaten Ponorogo “ Bathoro KatongPutri
Brawijaya V dengan Putri Begelen Dalam serat Katongan disebutkan : “ Prabu brawijaya V ( Arya Ankawijaya ) juga disebut Raden Alit raja Majapahit yang ketujuh atau terakhir berputra 117 orang. Disebutkan antara lain dengan Ibu Pengemban nomer 22 mempunyai anak raden Joko Piturun atau Raden Arak Kal yang kemudian menjadi Adipati di Ponorogo dengan nama Bathoro Katong.
Dari beberapa sumber diatas dapat diambil kesimpulan bahwa Bathoro Katong putra
Raja Majapahit Brawijaya V, yang mempunyai hak atas tahta Majapahit
Bathoro Katong mendapatkan daerah Lungguh dari ayahnya. Yang terletak di sebelah timur
Gunung Lawu dan di sebelah barat Gunung Wilis ke selatan sampai pantai selatan
Beberapa peranan Batoro Kathong dapt disebutkan sebagai berikut :
a. Bathoro katong menakhlukkan demang Surya Ngalam.
Beberapa tahun kemudian setelah Bhre kertabumi ( Brawijaya V ) naik tahta di kerajaan
majapahit tahun 1486 M. bathoro Katong bersama dengan Seloaji berangkatlah dari
Majapahit menuju ke Wengker untuk menemui Surya Ngalam/Demang Kutu di Suru
Kubeng.
Sebelum menemui Demang Kutu, Bathoro katong bertemu dengan Ki Ageng dari Desa
Mirah, anak Ki Ageng Gribig. Ki Ageng Mirah adalah mubalig yang telah beberapa waktu
bertugas menyebarkan agama islam di Wengker. Banyak hal penting keadaan Bumi Wengker
yang dijelaskan Ki Ageng Mirah yang telah lama berpangalaman di Bumi Wengker. Kepada
Bathoro Katong mereka bersepakat berjuang bersama Ki Ageng Mirah menyebarkan agama
islam dan Bathoro Katong di bidang Pemerintahan
Untuk mempermudah pencapaian tujuan, Ki Ageng Mirah menghendaki Bathoro Katong
masuk islam. Dengan sukarela ( tidak berkeberatan ) Bathoro katong masuk islam
Setelah itu Bathoro Katong dan Ki Ageng mirah selalu bekerja sama mempelajari situasi
dan kondisi Wengker agar misi dan tujuannya tercapai. Ki Ageng Mirah merasa gembira karena dapat bekerja sama dengan Bathoro Katong yang masih keturunan Majapahit itu. Di samping itu Bathoro Katong dan Ki Ageng Mirah mengatur siasat untuk menghadapi Kedemangan Kutu
Hal ini disebabkan oleh sikap Demang Kutu yang tidak tunduk ( Mbalelo ) terhadap
pemerintahan Majapahit. Ki Ageng Kutu tidak setia kepada pemerintahan Majapahit disebabkan
:
a. Ki Ageng Kutu adalah keturunan Majapahit yang berkuasa di Wengker
b. Kertabumi pernah merebut tahta Pandan Salas leluhur Ki Ageng
Kutu
c. Pemerintahan Majapahit dalam keadaan lemah karena adanya
perebutan kekuasaan

Untuk menaklukkan Demang Kutu Bathoro katong menempuh jalan damai, pendekatan
kekeluargaan dan toleransi, yakni :
a. Menyatukan wawasan /cara pandang bahwa antara Ki Ageng Kutu dengan Raden Katong
bukanlah musuh
b. Bathoro Katong memperistri Niken Sulastri putri Ki Ageng Kutu
c. Dapat memiliki ( menguasai ) keris Kyai Jabardas dan keris Rawe Puspita andalan
Kedemangan Kutu

2. Bathoro Katong menyebarkan agam islam di Ponorogo
Ki Ageng Mirah telah merintis menyebarkan agam islam di Wengker hasil yang
diperolehnya belum memadai. Terbukti masyarakat Wengker pada waktu itu masih kokoh
memegang nilai-nilai lama dan tradisional yang dijiwai paham Hindu. Oleh karena itu
kedatangan Raden Katong ( Bathoro katong ) disambut gembira oleh Ki Ageng Mirah.
Setelah itu keduanya bekerja sama untuk melaksanakan misi pemerintahan dan penyebaran
agama islam.
Pada tahap pertama Bathoro Katong. Ki Ageng Mirah, dan Seloaji pergi ke Bintoro
untuk berguru kepada wali dan ulam islam. Di Bintoro mereka memperoleh berbagai
pelajaran pengetahuan pemerintahan dan agam islam
Setelah dirasa cukup, Bathoro katong dan pengikutnya kembali ke daerah
lungguhnya ( daerah di sebelah timur Gunung Lawu dan di sebelah barat Gunung Wilis )
Tahap kedua, dalam penyebaran agama islam Bathoro Katong menggunakan cara
pendekatan persuasif, toleransi yang asimilatif-sinkreatif dan akulturatif, bukan dengan
kekerasan dan peperangan.
Berdasarkan pendekatan tersebut pengaruh islam dapat dengan mudah ditanamkan
dan diperkembangkan dalam masyarakat. Di samping itu Bathoro Katong menyebarkan
agama islam melalui saluran kesenian Reog. keberhasilan jerih payah Bathoro Katong, Ki
Ageng Mirah, Seloaji dan para pengikutnya terbukti dengan adanya pondok-pondok
pesantren di Ponorogo

3. Bathoro Katong Mendirikan Kadipaten Ponorogo
Menurut Babad Ponorogo, setelah Raden Katong sampai di wilayah, Wengker
memilih tempat yang memenuhu syarat untuk pemikiman, ( yaitu Plampitan, Kelurahan
Setono, Kecamatan Jenangan sekarang ). Meskipun situasi dan kondisi masih banyak
dijumpai hambatan, tantangan, yang dating silih berganti, Raden Katong, Seloaji, dan Ki
ageng Mirah serta pengikutnya mulai mendirikan pemukiman.
Sekitar tahun 1482 M, konsolidasi wilayah mulai dilakukan, hal ini ditandai dengan
adanya sebuah prasati terletak di Telaga Ngebel yang kemudian dikenal dengan Prasati
Kucur Bathoro
Dengan melaksanakan konsep-konsep perjuangan yang dilakukan dengan penuh
kearifan dan kebijaksanaan, Raden Katong dapat melanjutkan perjuangannya
Selanjutnya antara tahun 1482-1486 M, upaya dalm rangka menegakkan perjuangan
dengan menyusun kekuatan, sedikit demi sedikit semua kesulitan dapat diatasi, akhirnya
pendekatan kekeluargaan dengan KI Ageng Kutu dan seluruh pendukungnya mulai
membuahkan hasil
Langkah berikutnya dengan segala upaya dan usaha ditempuh untuk mengadakan
persiapan-persiapan dalam rangka merintis mendirikan kadipaten
Dengan semua pihak Bathoro Katong ( Raden Katong ) dapat mendirikan Kadipaten
Ponorogo pada akhir abad XV dan menjadi Adipati yang pertama

C. BERDIRINYA KADIPATEN PONOROGO
a. BEBERAPA SUMBER YANG BERKAITAN DENGAN BERDIRINYA KADIPATEN
PONOROGO
Ada dua sumber utama yang kami jadikan bahan kajian dalam menelusuri Hari Jadi
Kadipaten Ponorogo yakni :
a. Sejarah lokal baik legenda maupun buku Babad
b. Bukti peninggalan buku-buku sejarah
a. Sejarah lokal Baik Legenda maupun Buku Babad
Banyak cerita yang berkembang di kalangan masyarakat bahkan ada yang telah ditulis di
dalam buku Babad dan lain-lain
Menurut babad maupun cerita rakyat, pendiri Kadipaten Ponorogo ialah Raden Katong
putra Brawijaya V raja Majapahit dengan Putri Begelen. Diduga berdirinya Kadipaten
Ponorogo pada akhir abad XV
b. Buku peninggalan Benda-Benda Purbakala
Kebudayaan seseorang itu bersumber dari masyarakatnya. Dalam arti konsentrasi
tertinggi adalah basis alam dari kehidupan kebudayaan itu sendiri 30
Masyarakat Wengker menganut kepercayan Hindu yang jelas beralkuturasi dengan tradisi tradisi yang berlaku saat itu.

Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya peninggalan benda-benda purbakala antara lain :
1.Sebuah Arca Syiwa
2. Tiga buah arca Durga
3. Lima buah arca Ghanesa
4. Dua arca Nandi
5. Sebuah arca Trimurti
6. Dua arca Mahakala sebagai Dwarapala
7. Sebuah Lingga
8. Sebuah Yoni
9. Sepasang Lingga Yoni
10. Sembilan buah minatur lumbung padi
11. Arca Gajah-Gajah Siwarata, kendaraan Bathara Indra berasal dari Timur
12. Wisnoe barasal dari Timur
13. Ganesa penunggu rumah dengan angka tahun 1355 Saka = 1433 M
14. Umpak terdapat di Pulung dengan angka tahun 1336 Saka = M. 31
15. Sejumlah Patung/Arca logam yang ditemukan di Desa Kunti, Kecamatan Bungkal

Disamping itu ditemukan pula peninggalan benda-benda purbakala di sekitar Makam Bathoro
Katong Dari Komplek makam ini diperoleh petunjuk angka tahun kapan kiranya Bathoro
Katong mendirikan Kadipaten Ponorogo. Di depan Gapura pertama yang berdaun pintu atau
Gapura ke-5, disebelah utara dan selatan terdapat sepasang batu menyerupai tempat duduk yang menurut tradisi disebut Batu Gilang
Pada batu tersebut terlukis Candra Sengkala, memet dari belakang ke depan berupa :
manusia, pohon, burung, (Garuda) dan gajah
Manusia : angka 1
Pohon : angka 4
Burung Garuda : angka 1
Gajah : angka 8
Berdasarkan kajian itu, Tim Sembilan menyimpulkan Candra Sengkala memet pada Batu
Gilang tersebut menunjukkan angka tahun 1418 Saka

c. BATHORO KATONG DIWISUDA
1. Figur Seorang Bathoro katong
Nama Bathoro Katong sudah tidak asing lagi bagi Masyarakat Ponorogo, bahkan
nama itu seakan sudah menyatu dengan nama Kota Ponorogo
Menurut pendapat Para Sarjana, cerita rakyat dan buku-buku babad Bathoro
Katong adalah pendiri Kadipaten Ponorogo yang selanjutnya berkembang menjadi
1. Kabupaten Ponorogo
Hal itu sudah menjadi keyakinan masyarakat Ponorogo tanpa mempermasalahkan “
Kapan “ Bathoro Katong Diwisuda sebagai Adipati Ponorogo :
2. Kapan Bathoro Katong Diwisuda
Berdasarkan penelitian dan analisa sejarah dari berbagai sumber terutama
pengkajian terhadap peninggalan benda-benda purbakala yang berkaitan dengan masa
pemerintahan Bathoro antara lain dapat kami sampaikan sebagai berikut :
d. Batu Bertulis Kucur Bathoro
Di wilayah Kecamatan Ngebelada Lokasi/ tempat yang dinamakan Kucur Bathoro.
Menurut Moh. Hari Soewarno, Kicur Bathoro itu diperkirakan tempat bersemedi bathoro
katong pada saat akan memulai melaksanakan tugas di Bumi Wengker. Ditempat itu
terdapat sebuah batu bertulis yang menunjukkan angka tahun 1482 Masehi
e. Prasasti Batu Gilang di Makam Bathoro Katong
Di komplek makam bathoro katong yaitu di depan gapura ke- 5 terdapat sepasang
batu yang disebut Batu Gilang oleh masyarakat Ponorogo. Pada batu gilang itu terlukis
Candra Sengkala memet berupa Gambar : pohon, burung (Garuda) dan gajah, yang
melambangkan angka tahun 1418 Saka atau tahun 1496 Masehi. Batu Gilang itu
berfungsi sebagai Prasasti “ Penobatan “ yang dianggap suci
Atas dasar bukti peninggalan benda-benda purbakala tersebut dengan
menggunakan Buku Handbook Of Oriental History halaman 37, dapat ditemukan hari
wisuda Bathoro katong sbagai Adipati Kadipaten Ponorogo pada Ahad Pon 1 Besar
1418a bertepatan dengan 11 Agustus 1496 Masehi atau 1 Dhulhijah 901 H
Selengkapnya...

--> Read more...

 

  © 2010 BUMI WENGKER

True Contemplation Blogger Template by wengker